Hubungan
Industrial (Industrial Relations) adalah kegiatan yang mendukung terciptanya
hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu pengusaha, karyawan dan
pemerintah, sehingga tercapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha
(Industrial Peace).
Pada
Undang‐Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 Hubungan
Industrial didefinisikan sebagai “Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai‐nilai
Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat
pentingnya kegiatan ini, masalah hubungan industrial perlu mendapat perhatian
khusus dalam penanganannya, karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan
proses produksi yang terjadi di perusahaan.
Keseimbangan
antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal yang hendak dicapai agar
terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha karena tidak dapat
dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang
saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak
akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh
pekerja, demikian pula sebaliknya.
Yang
paling mendasar dalam Konsep Hubungan Industrial adalah Kemitra‐sejajaran
antara Pekerja dan Pengusaha yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama,
yaitu bersama‐sama ingin meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan.
II.RUANG
LINGKUP HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Ruang Lingkup Cakupan
Pada dasarnya prinsip‐prinsip dalam hubungan
industrial mencakup seluruh tempat‐tempat kerja dimana para pekerja dan pengusaha
bekerjasama dalam hubungan kerja untuk mencapai tujuan usaha. Yang dimaksud
hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan pekerjaan.
Fungsi Pemerintah : Menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang berlaku.
Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan
pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian dan
ikut memajukan perusahaan serta memperjuangkan kesejahteraan anggota dan
keluarganya.
Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan
pekerja secara terbuka, demokratis serta berkeadilan.
C. Ruang Lingkup Masalah
Adalah seluruh permasalahan yang berkaitan baik
langsung maupun tidak langsung dengan hubungan antara pekerja, pengusaha dan
pemerintah.
Didalamnya termasuk :
a. Syarat‐syarat kerja
b. Pengupahan
c. Jam kerja
d. Jaminan sosial
e. Kesehatan dan keselamatan
kerja
f. Organisasi
ketenagakerjaan
g. Iklim kerja
h. Cara penyelesaian keluh
kesah dan perselisihan.
i. Cara memecahkan persoalan
yang timbul secara baik, dsb.
D. Ruang Lingkup
Peraturan/Per Undang‐undangan Ketenagakerjaan
a. Hukum Materiil
1. Undang‐undang
ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
2. Peraturan
Pemerintah/Peraturan Pelaksanaan yang berlaku
3. Perjanjian Kerja Bersama
(PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja.
1. Undang‐undang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2. Perpu No. 1 Tahun 2005,
dan diberlakukan mulai 14 Januari 2006
III.TUJUAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tujuan Hubungan Industrial adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang
harmonis, Dinamis, kondusif dan berkeadilan di perusahaan.
Ada tiga unsur yang
mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
a. Hak dan kewajiban
terjamindan dilaksanakan
b. Apabila timbul
perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit
c. Mogok
kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan (lock out) oleh pengusaha, tidak
perlu digunakan untuk memaksakan kehendak masing‐masing, karena perselisihan
yang terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.
Namun demikian Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga
sangat berpengaruh dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial yang
kita karapkan.
Sikap mental dan sosial
yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut adalah :
1. Memperlakukan pekerja
sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha sebagai investor
2.
Bersedia saling menerima dan meningkatkan
hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja secara terbuka
3. Selalu tanggap terhadap
kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan pekerja
4. Saling mengembangkan
forum komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.
IV.SARANA‐SARANA
DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Agar tertibnya
kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan‐peraturan
yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif. Peraturan tersebut
diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan sikap mental dan
sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam
hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai‐nilai budaya
dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilai yang terdapat dalam Hubungan
Industrial.
Dengan
demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan sesuai dengan nilai‐nilai
budaya perusahaan tersebut.
Dengan adanya pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh
pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial, maka diharapkan
terjadi hubungan yang harmonis dan kondusif. Untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana sebagai
berikut :
A. Lembaga kerja sama
Bipartit
B. Lembaga kerja sama
Tri[artit
C. Organisasi Pekerja atau
Serikat Pekerja/Buruh
D. Organisasi Pengusaha
E. Lembaga keluh kesah &
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
F. Peraturan Perusahaan
G. Perjanjian Kerja Bersama
A. LEMBAGA KERJASAMA
(LKS) BIPARTIT
Adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit
produksi yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha.
Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50
(limapuluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS)
Bipartit dan anggota‐anggota yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang
ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian.
LKS Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan‐permasalahan
ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Para
manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga Kerjasama
Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya penyelesaian
perselisihan industrial.
LKS Bipartit bertujuan :
1. Terwujudnya ketenangan
kerja, disiplin dan ketenangan usaha,
2.
Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan
perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan.
3. Mengembangkan motivasi
dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di perusahaan.
1.
Pengurus terdiri dari minimal 6 anggota yang
ditunjuk (3 wakil pengusaha, 3 wakil pekerja).
2. Proses penunjukkan
anggota dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat.
3. Kepengurusan bersifat
kolektif dan kekeluargaan.
4.
Struktur kepengurusan (Ketua, Wakil Ketua,
Sekertaris, merangkap anggota dari 2 anggota)
5. Masa kerja kepengurusan 2
tahun dan dapat ditunjuk kembali.
6. Azasnya adalah
kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.
Dalam hal konsultasi
dengan pekerja, yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a.
Jika Perusahaan sudah memiliki Lembaga Kerja Sama
(LKS) Bipartit, konsultasi dapat dilakukan dengan lembaga tersebut, begitu pula
jika ada Serikat Pekerja, maka konsultasi dapat dilakukan dengan Serikat
Pekerja yang telah disahkan.
b.
Jika Lembaga Kerjasa Sama Bipartit dan Serikat
Pekerja tidak ada, maka konsultasi dapat dilakukan dengan karyawan yang ada
dalam perusahaan tersebut.
Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara dan
waktu untuk rapat perundingan.
Penyelesaian Melalui
Bipartit :
1. Perselisihan hubungan
industrial wajib diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat;
2. Diselesaikan paling lama
30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;
3.
Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani
oleh para pihak, sifatnya mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan
oleh para pihak;
4.
Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian bersama;
5.
Diberikan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian bersama;
6. Salah
satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri di wilayah
Perjanjian Bersamadidaftarkan.
7.
Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI
di Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke PHI di
Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi;
8.
Perundingan dianggap gagal apabila salah satu
pihak menolak perundingan atau tidak tercapai kesepakatan;
9.
Salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
Risalah Perundingan
Bipartit :
1. Nama lengkap dan alamat
para pihak.
2. Tanggal dn tempat
perundingan
3. Pokok masalah atau alasan
perselisihan
4. Pendapat para pihak.
5. Kesimpulan atas hasil
perundingan.
6. Tanggal serta tanda
tangan para pihak yangmelakukan perundingan.
Tugas Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan :
1.
Meneliti perselisihan hubungan industrial, bukti
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit.
2.
Mengembalikan berkas perselisihan paling lambat
dalam waktu 7 hari kerja apabila tidak dilengkapi bukti upaya penyelesaian
perundingan bipartit.
3. Wajib menawarkan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
4.
Dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan
pilihan konsiliasi atau arbitrase, melipmpahkan penyelesaiannya kepada
mediator.
B. LEMBAGA KERJA
SAMA TRIPARTIT
Lembaga kerjasama Tripartit merupakan LKS yang
anggota‐anggotanya terdiri dari unsur‐ unsur pemerintahan, organisasi pekerja
dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama Tripartit adalah sebagai
FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan konsepsi, sikap dan
rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi
waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor‐ faktor yang tidak diduga
maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang.
Dasar Hukum lembaga kerja sama Bipartit
dan Tripartit adalah :
1. UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
2. Kepmenaker No.
Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit
3. Kepmenaker No.
Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit
C. ORGANISASI
PEKERJA
Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang
didirikan secara sukarela dan demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan
berbentuk Serikat Pekerja, Gabungan serikat Pekerja, Federasi, dan Non
Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan sangat penting dan strategis
dalam pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.
Dasar Hukum Pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam:
1. UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
2. UU No. 2 Tahun 2004
tentang PPHI
3. Kepmenaker No. 16 Tahun
2001 tentang Tatacara Pencatatan SerikatPekerja/Buruh
4. Kepmenaker No. 187 Tahun
2004 tentang Iuran anggota Serikat Pekerja/Buruh
Setiap
pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi Anggota Serikat Pekerja. Serikat
Pekerjapada perusahaan berciri‐ciri sebagai berikut :
1.
Dibentuk dari dan oleh pekerja secara demokrasi
melalui musyawarah para pekerja di perusahaan.
2. Bersifat mandiri,
demokrasi, bebas dan bertanggung jawab.
3. Dibentuk berdasarkan
SEKTOR usaha/lapangan kerja.
Pengusaha dilarang menghalangi pekerja untuk
membentuk Serikat Pekerja dan menjadi pengurus Serikat Pekerja dan pekerja yang
menduduki jabatan tertentu dan/atau fungsi tugasnya dapat menimbulkan pertentangan
antara pengusaha dan pekerja tidak dapat menjadi pengurus Serikat Pekerja
Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum
pada Departemen Tenaga Kerja memiliki duahal :
1. Berhak melakukan
perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
2. Berhak sebagai pihak
dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan
menjadi anggota organisasi pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) yang khusus menangani bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan
Hubungan Industrial. Hal tersebut tercermin dari visinya yaitu Terciptanya
iklim usaha yang baik bagi dunia usaha dan misinya adalah Meningkatkan hubungan
industrial yang harmonis terutama ditingkat perusahaan, Merepresentasikan dunia
usaha Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan Melindungi, membela dan
memberdayakan seluruh pelaku usaha khususnya anggota. Untuk menjadi anggota
APINDO Perusahaan dapat mendaftar di Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau
di Dewan Pengurus Privinsi (DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional (DPN).
Bentuk pelayanan APINDO adalah sebagai berikut :
1.Pembelaan
a.
Bantuan hukum baik bersifat konsultatif, pendampingan, legal opinion maupun
legal action di tingkat perusahaan dalam proses :
‐ Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI)
‐ Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK)
‐ Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3)
‐ Perlindungan Lingkungan
(Environmental).
b. Pendampingan
dalam penyusunan, pembuatan dan perpanjangan Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c. Perundingan Pengusaha
dengan Wakil Pekerja/Buruh maupun dengan Pemerintah.
2. Perlindungan
a. Apindo
pro‐aktif dan turut serta dalam pembahasan pembuatan kebijakan dan peraturan
ketenagakerjaan di tingkat daerah maupun nasional.
b. Sosialisasi peraturan‐peraturan
ketenagakerjaan tingkat nasional, propinsi dan kabupaten
c. Pro‐aktif dalam
pembahasan penetapan upah minimum propinsi dan kabupaten
d. Ikut
serta mendorong penciptaan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan bagi dunia usaha melalui forum LKS Bipartit maupun LKSTripartit
3. Pemberdayaan
a. Penyediaan informasi
ketenagakerjaan yang selalu terbarukan dan relevan
b. Pelatihan/seminar masalah
ketenagakerjaan di dalam dan di luar negeri
c.
Konsultasi ketenagakerjaan mulai dari rekruitmen,
tata laksana sampai pasca kerja, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
dan perlindungan Lingkungan.
a.
KADIN (Kamar Dagang Indonesia) menyerahkan
sepenuhnya urusan ketenagakerjaan kepada APINDO, karena hubungan industrial
adalah salah satu dimensi manajemen usaha
b.
Berdasarkan Kesepakatan kedua belah pihak
yang diperkuat oleh SK Menakertranskop No. 2224/MEN/1975 Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional terdiri dari :
1. Unsur Pemerintah diwakili
Depnakertranskop
2. Unsur Pengusaha diwakili
APINDO
3. Unsur Buruh diwakili FBSI
c.
Pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN
Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Indutrial dengan Keputusan Dewan Pengurus
KADIN Indonesia No. 037/SKEP/DP/VII/2002 tanggal 31 Juli 2002
d.
Pembaruan pengakreditasian APINDO sebagai
Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Industrial dengan Keputusan
Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 019/SKEP/DP/III/2004 tanggal 5 Maret 2004
Dengan
kata lain, dalam rangka hubungan industrial, organisasi ketenagakerjaan
mempunyai peran penting sebagai pelaku, baik langsung maupun tidak langsung dan
pemberi warna pada falsafah serta proses Hubungan Industrial itu sendiri.
Pengusaha dan Pemerintah dalam kehidupan ketenagakerjaan sehari‐hari, kehadiran
serikat pekerja dan organisasi pengusaha sangatlah diperlukan.
Berdasarkan ciri‐ciri umum
organisasi ketenagakerjaan yang sesuai dengan tuntutan Hubungan Indiustrial
Pancasila (HIP), maka ciri khusus yang diharapkan baik dari organisasi pekerja,
pengusaha maupun profesi adalah :
1.
Organisasi didirikan untuk meningkatkan
partisipasi dan tanggung jawab anggota dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2.
Organisasi didirikan untuk meningkatkan
efektifitas komunikasi antara para pelaku proses produksi barang dan jasa.
3.
Organisasi didirikan untuk lebih menyerasikan
penghayatan hak dan kewajiban masing‐ masing anggotanya dan mengefektifkan
pengalaman secara selaras, serasi dan seimbang.
4.
Organisasi didirikan untuk bersama‐sama mengisi
dan mengembangkan isi syarat‐syarat kerja dan meningkatkan praktek‐praktek
Hubungan Industrial.
5. Organisasi didirikan
untuk lebih mengefektifkan pendidikan dibidang ketenagakerjaan.
Lembaga/Badan lain sebagai penunjangHubungan
Industrial :
Untuk lebih menunjang dan mendukung hal tersebut
diatas masih perlu dibentuk badan‐ badang lain yang berorientasi pada
kebersamaan, keselarasan, dan keseimbangan. Bentuk badan tersebut anggotaannya
juga semua pekerja perusahaan tersebut. Badan itu antara lain Koperasi,
Persatuan Olah Raga dan Seni, Persatuan Rekreasi dsb.
E. LEMBAGAPENYELESAIAN KELUH KESAHDAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan Industrial untuk
mencapai suatu masyarakat industri yang diharapkan, benturan‐benturan antara
para pelaku yang timbul sebagai akibat belum serasinya pemakaian ukuran dan
kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadang‐kadang tidak dapat
dihindari.
Keluh kesah bisa juga terjadi akibat berbagai
pertanyaan yang timbul baik dari pekerja ataupun dari pengusaha yang berkaitan
dengan penafsiran atau pelaksanaan peraturan perundang‐undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dapat juga karena
berbagai tuntutan dari salah satu pihak terhadap pihak lain yang melanggar
peraturan perundang‐undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja besama.
Dengan demikian untuk menghindari benturan‐benturan
tersebut perlu dikembangkan suatu mekanisme penyelesaian keluh kesah sehingga
benih‐benih perselisihan tingkat pertama seharusnya diselesaikan diantara
pelaku itu sendiri.
Mekanisme penyelesaian keluh kesah merupakan
sarana yang seharusnya diadakan setiap perusahaan. Mekanisme ini harus
transparan dan merupakan bagian dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan
(PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsi‐fungsi
supervisi dari setiap para manajer merupakan kunci terlaksananya mekanisme ini.
Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat
diselesaikan dalam lembaga mekanisme penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian
dapat dilaksanakan lebih lanjut sesuai dengan Peraturan perundang‐ undangan
yang berlaku.
1. PENYELESAIAN KELUH KESAH
A.
Penyelesaian keluh kesah yang timbul di
perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan
antara pekerja dengan atasannya tanpa campur tangan pihak lain.
B.
Apabila seorang pekerja mempunyai keluh kesah
tentang segala sesuatu mengenai hubungan kerja, pertama‐tama pekerja tersebut
menyampaikan keluh kesahnya pada atasannya langsung untuk dimintakan
penyelesaian.
C.
Apabila atasan langsung yang bersangkutan tidak
menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas penyelesaiannya, pekerja
mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi.
D.
Apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa
menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas penyelesainnya maka pekerja dapat
minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili atau mendampingi pekerja
untuk penyelesainnya lebih lanjut.
2. PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Perselisihan Hubungan Industrial terjadi akibat
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena :
A. Tidak dilaksanakannya hak
pekerja
B. Kesadaran pekerja akan
perbaikan kesejahteraan
C.
Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan
pengusaha Penyelesaian Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
A. Penyelesaian diluar
Pengadilan Hubungan Industrial
‐
Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
‐
Mediasi, Konsiliasi, Arbiter (wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)
B. Pengadilan Hubungan
Industrial
‐ Hukum Acara Perdata Pasal 57,
UU No. 2 tahun 2004
F.PERATURAN PERUSAHAAN
Peraturan
Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat
ketentuan‐ ketentuan tentang syarat‐syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
1. KetentuanKhusus
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan Peraturan Perusahaan adalah :
1. Wajib dibuat oleh
pengusaha yang mempekerjakan 25 orang karyawan atau lebih.
2.
Dalam pembuatannya pengusaha mengadakan
konsultasi lebih dahulu dengan pekerja/pegawai Depnaker setempat.
3.
Perusahaan yang telah mempunyai Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) tidak dapat menggantikannya dengan Peraturan Perusahaan.
4.
Peraturan Perusahaan sebelum diterapkan (berlaku)
setelah mendapat pengesahan/kesaksian dari Departemen Tenaga Kerja cq. Dirjen
Binawas untuk Peraturan Perusahaan yang berlaku di seluruh wilayah RI, dan
Kadinas/Kasudinas Tenaga Kerja setempat untuk yang berlaku di wilayah tersebut.
Tujuh hari setelah pengesahan Peraturan Perusahaan harus di sosialisasikan
kepada seluruh karyawan.
5. Peraturan Perusahaan
berlaku paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali.
Masing‐masing Peratutan Perusahaan secara
periodik perlu diadakan perubahan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang
ada. Setiap perubahan ini sebelum dilaksanakan harus mendapat
pengesahan/kesaksian dari Depnaker/Disnaker atau pejabat yang ditunjuk.
2. Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan Peraturan Perusahaan ini adalah :
1. Undang‐undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115
2.
Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang
Tatacara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan
Pendaftaran PKB.
Pada umumnya penyusunan Peraturan Perusahaan
sudah merupakan suatu hal yang standar, dimana beberapa ketentuan yang ada
dalam perundang‐undangan ketenagakerjaan dimasukkan kedalam Peraturan
Perusahaan, baru kemudian ditambahkan dengan hal‐hal umum dan spesifik yang
diperlukan perusahaan tersebut.
3. Kerangka Peraturan
Perusahaan
Sistimatika atau kerangka yang ideal Peraturan
Perusahaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Mukadimah
4. Umum
5. Aturan Perusahaan (Bab
II)
6. Jam Kerja, Peraturan
Kerda dan Disiplin Kerja (Bab III)
7. Pembebasan kewajiban dari
bekerja (Bab IV)
9. Perjalanan Dinas (Bab VI)
10. Jaminan Kesehatan 9bab
VII)
11. Pengembangan dan
Pelatihan (Bab VIII)
12. Penghargaan (Bab IX)
13. Kegiatan/aktivitas (Bab
X)
14. Penyelesaian Keluh Kesah
(Bab XI)
15. Penutup (XII)
4. KetentuanUmum
Hal‐hal umum yang perlu diperhatikan :
1.
Bila masa berlaku Peraturan Perusahaan belum
berakhir kemudian terbentuk Serikat Pekerja, dan Serikan Pekerja meminta
diadakan perundingan untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maka
perusahaan wajib melayani kehendak Serikat Pekerja untuk merundingkan
pembuartan Perjanjian Kerja Bersama.
2.
Bilamana Serikat Pekerja 3 bulan sebelum
Peraturan Perusahaan berakhir tidak mengajukan secara tertulis untuk
perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, maka perusahaan wajib
mengajukan Peraturan Perusahaan yang lama/yang tidak diperbaharui untuk
disyahkan atau diperpanjang.
3.
Ketentuan yang ada dalam Peraturan Perusahaan
tetap berlaku sampai dengan ditandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan
atau sampai dengan disyahkan permohonan diperpanjang Peraturan Perusahaan.
4.
Pelanggaran‐pelanggaran yang dilakukan terhadap
Peraturan Perusahaan ini, sanksi yang diberikan berupa administratif, bukan
pidana
G.PERJANJIAN
KERJABERSAMA (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh
pengusaha dan serikat yang telah terdaftar yang dilaksanakan secara musyawarah
untuk mencapai mufakat.
1. Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan PKB ini didasarkan kepada :
1. Undang‐Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115 yang mengatur tentang
pembuatan dan pendaftaran Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB).
2. Kepmenaker
No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang tatacara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2. KetentuanKhusus
Ketentuan khusus dalam penyusunan PKB beberapa ketentuan harus
diperhatikan :
1. Dirundingkan oleh
pengusaha dan Serikat Pekerja yang telah terdaftar.
2. Didukung oleh SEBAGIAN
BESAR pekerja di perusahaan tersebut.
3. Masa berlaku 2 tahun dan
dapat diperpanjang.
4.
Setiap perpanjangan PKB harus disetujuai secara
TERTULIS oleh pengusaha dan Serikat Pekerja serta diajukan 90 hari sebelum masa
PKB berakhir.
5.
Dibuat dengn Surat Resmi sekurang‐kurangnya
rangkap 3 (satu bundel diserahkan ke Depnaker untuk didaftarkan).
6.
PKB yang telah disepakati dibubuhi tanggan dan
ditandatangani oleh pengurus yang oleh anggota dasar diperbolehkan, jika
diwakilkan harus ada surat kuasa,
7. Ketentuan PKB tidak boleh
bertentangan dengan perundang‐undangan yang berlaku.
3. KetentuanUmum
1.
PKB sekurang‐kurangnya memuat : a. Hak dan
kewajiban pengusaha.
b. Hak dan kewajiban Serikat
Pekerja
c. Tata tertib perusahaan
d. Jangka waktu berlakunya
PKB
e. Tanggal mulai berlakunya
PKB.
f. Tanda tangan para pihak
yang membuat
2. Dalam hal perubahan PKB
perlu diperhatikan sebagai berikut :
a.
Keinginan untuk melakukan perubahan tersebut oleh
para pihak harus diajukan secara tertulis.
b.
Perubahan PKB harus dilakukan berdasarkan
Perjanjian Bersama secara tertulis antara pengusaha dan pekerja.
c.
Perubahan PKB yang diperjanjikan kedua belah
pihak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku.
3. Para Pihak yang terikat
dengan PKB
Para pihak yang terikat dengan PKB adalah pihak‐pihak
yang membuatnya yaitu Serikat Pekerja/pekerja dan Pengusaha.
4. Tahap Pembuatan PKB
Dalam pembuatan PKB dibagi beberapa tahap yaitu :
1.
Serikat Pekerja/Buruh dan Pengusaha menunjuk team
perunding pembuat PKB secara resmi dengan surat kuasa yang ditandatangani
pimpinan masing‐masing.
2. Permusyawaratan PKB dalam
perundingan Bipartit harus selesai dalam waktu 30 hari.
3.
Apabila dalam waktu 30 hari perundingan Bipartit
belumselesai, maka salah satu atau kedua belah pihak wajib melaporkan secara
tertulis ke Departemen Tenaga Kerja setempat untuk diperantarai.
4.
Apabila dalam waktu 30 hari pegawai perantara
tidak dapat menyelesaikan pembuatan PKB, maka pegawai perantara melaporkan
secara tertulis ke Menteri Tenaga Kerja.
5.
Menteri Tenaga Kerja menetapkan langkah‐langkah
penyelesaian pembuatan PKB, dengan memperhatikan hasil musyawarah tingkat
Bipartit dan perantara paling lama 30 hari.
6.
Tempat perundingan pembuatan PKBdilaksanakandi
kantor pengusaha/Serikat Pekerja atau ditempat lain yang telah disepakati
tingkat Bipartit.
7.
Biaya permusyawaratan PKB ditanggung pengusaha
kecuali jika Serikat Pekerja telah dianggap mampu maka ditanggung bersama.
H.PERJANJIAN KERJA KHUSUS (PKK)
Perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama waktu tertentu sesuai
perjanjian.
Dasar Hukumnya adalah :
1. Undang‐undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59 tentang PKWT
2.
Kepmenaker No. Kep. 100/Men/VI/2004 tentang
ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
PKK dirumuskan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT)
2.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Hal
tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu(PKWT)
PKWT adalah Perjanjian Kerja antara pekerja
dengan pengusaha, untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan atau
pekerjaan tertentu.
Ketentuan Umum PKWT :
1. Dibuat secara
tertulisdengan menggunakan Bahasa Indonesia
2.
Didalamnya tidak boleh mempersyaratkan adanya
masa percobaan, bila dicantumkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut
batal demi hukum
3.
Dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
sifat, jenis, atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu..
4.
Nilai isi PKWT tidak boleh lebih rendah dari
syarat‐syarat kerja yang dimuat dalam Peraturan Perusahaan yang bersangkutan,
jika lebih rendah yang berlaku adalah apa yang termuat dalam Peraturan
Perusahaan.
5.
Dibuat rangkap 3 (pengusaha, pekerja,
pemerintah/Depnaker) dan seluruh biaya yang timbul karena pembuatan ini menjadi
tanggung jawab pengusaha.
Ketentuan Khusus PKWT :
1. Dibuat atas kemauan bebas
kedua belah pihak.
2. Para pihak mampu dan
cakap menurut Hukum untuk melakukan perikatan.
3. Adanya pekerjaan
tertentu.
4.
Yang disepakati tidak dilarang oleh undang‐undang
atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
PKWT yang tidak memenuhi item 1,2, ketentuan khusus diatas dapat
dibatalkan, sedangkan yang bertentangan dengan 3 dan 4 adalah batal demi hukum.
Adapun yang dimaksud
dengan pekerjaan tertentu sebagaimana tersebut diatas adalah :
1. Yang sekali selesai/sementara
sifatnya.
2. Yang penyelesaian
pekerjaannya diperkirakan tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun
3. Yang bersifat
musiman/berulang kembali.
4. Yang bukan merupakan
kegiatan bersifat tetap dan tidak terputus‐putus.
5.
Yang berhubungan dengan produk baru, atau
kegiatan baru, atau tambahan yang masih dalam percobaan/penjajagan.
Dalam
pembuatan PKWT, konsepnya terlebih dahulu harus diajukan ke kantor Depnaker
setempat untuk disetujui. Dalam PKWT tersebut harus memuat :
1. Nama dan alamat
pengusaha/perusahaan.
2. Nama, alamat, umur dan
jenis kelamin pekerja.
3. Jabatan/jenis macam
pekerjaan.
4. Besarnya upah dan cara
pembayarannya.
5. Syarat‐syarat kerja yang
memuat hak dan keajiban pengusaha dan pekerja.
6. Jangka waktu berlakunya
perjanjian kerja.
7. Tempat atau lokasi kerja.
8.
Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat, tanggal
mulai berlakunya dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua belahpihak.
9. Hal‐hal yang dapat
mengakhiri PKWT sebelum masa berlakunya habis.
Jangka waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2
tahun, dan dapat diperpanjang 1 kali dengan ketentuan jumlah seluruh tidak
boleh lebih dari 3 tahun. Perubahan PKWT hanya dapat dilakukan 30 hari setelah
berakhirnya PKWT yang lama. Sedangkan PKWT yang ingin di perpanjang tanpa
mengalami perubahan dapat dilakukan selambat‐lambatnya 7 hari sebelum
Perjanjian Kerja berakhir. Perubahan dan perpanjangan ini berlakunya tidak
boleh melebihi masa maksimum berlangsung hubungan kerja PKWT.
PKWT berakhir disebabkan oleh :
1. Berakhirnya waktu
perjanjian kerja.
2. Berakhir dengan
selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
3. Berakhir karena pekerja
meninggal dunia.
PKWT tidak berakhir jika pengusaha meninggal
dunia, ahli waris atau pengurus perusahaan yang lain dapat melanjutkannya,
kecuali dalam PKWT diperjanjikan lain. Para pihak yang mengakhiri perjanjian
secara sepihak tanpa alasan yang dapat dipertanggungkan secara hukum diwajibkan
membayar ganti rugi sebesar sisa upah masa berlakunya PKWT.
2. Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu(PKWTT)
Pada prinsipnya secara umum sama dengan PKWT.
Dalam PKWTT, Perjanjian Kerja dapat berlangsung selamanya sampai dengan
pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak ada lagi, atau pekerjanya pensiun.
Begitu pula dengan ketentuan‐ketentuan lainnya hampir sama. Para Pihak bebas
mengakhiri perjanjian, namum bila yang mengakhiri pengusaha tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka pengusaha wajib membayar
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak jasa dan penggantian
hak, sebagaimana diatur Undang‐undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur Young,1991,
Pedoman Kerja Manajer, Jakarta, PPM.
2. Astra Human Resources
Management, 2001, Jakarta, PT Astra International, Tbk.
3.
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, 1995,
Jakarta, Raja Grafindo Persada.
4.
Farid Mu’azd, 2006, Pengadilan Hubungan
Industrial, Jakarta, Ind‐Hill‐Co.
5.
Herb Cohen, Negosiasi, 1986, Jakarta, Pantja
Simpati.
6. Jimmy Joses Sembiring,
Smart HRD, 2010, Jakarta, Visimedia.
7. Robert L. Mathis &
John H. Jackson, 2001, Manajemen SDM, Jakarta, Salemba Empat.
8. Susilo Martoyo, Manajemen
Sumber Daya Manusia, 1987, Yogyakarta, BPFE.
9.
Sutarto Wijono, Psikologi Industri &
Organisasi, 2010, Jakarata, Kencana Prenada Media Group.
10. Yunus
Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, 1995, Jakarta, Bina Sumber Daya
Manusia.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.