Friday, June 24, 2016

Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Abstrak
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku pada tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia, telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup di dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.


Pendahuluan
Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. 
Menurut Mangkunegara (2002, 163) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
Menurut Suma’mur (2001, 104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .
Mathis dan Jackson (2002, 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
Jackson (1999, 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam Pasal 23, menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja. 
Melihat beberapa uraian diatas mengenai pengertian keselamatan dan pengertian kesehatan kerja diatas, maka dapat disimpulkan mengenai pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu bentuk usaha atau upaya bagi para pekerja untuk memperoleh jaminan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam melakukan pekerjaan yang mana pekerjaan tersebut dapat mengancam dirinya yang berasal dari individu sendiri dan lingkungan kerjanya. 

Permasalahan
Perusahaan dalam hal ini ingin menerapkan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sebagaimana merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud pelaksanaan terhadap ketentuan Pemerintah dan kepedulian terhadap pekerja sehingga dapat menciptakan lingkungan dan suasana kerja yang aman dan nyaman.
Dalam kompleksitas dan kepentingan manajemen organisasi menghadapi era persaingan saat ini, manajemen K3 seperti apa yang dapat dilakukan dan dilaksanakan organisasi dalam mewujudkan hal tersebut di atas?

Jenis Bahaya
Pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu keilmuan multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keamanan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan atau pencemaran lingkungan kerja. 
Jenis bahaya dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Biologi (jamur, virus, bakteri, mikroorganisme, tanaman, binatang).
  2. Kimia (bahan/material/gas/uap/debu/cairan beracun, berbahaya, mudah meledak/menyala/terbakar, korosif, iritan, bertekanan, reaktif, radioaktif, oksidator, penyebab kanker, bahaya pernafasan, membahayakan lingkungan, dsb).
  3. Fisik/Mekanik (infrastruktur, mesin/alat/perlengkapan/kendaraan/alat berat, ketinggian, tekanan, suhu, ruang terbatas/terkurung, cahaya, listrik, radiasi, kebisingan, getaran dan ventilasi).
  4. Biomekanik (postur/posisi kerja, pengangkutan manual, gerakan berulang serta ergonomi tempat kerja/alat/mesin).
  5. Psikis/Sosial (berlebihnya beban kerja, komunikasi, pengendalian manajemen, lingkungan sosial tempat kerja, kekerasan dan intimidasi).
  6. Dampak Lingkungan (air, tanah, udara, ambien, sumber daya energi, sumber daya alam, flora dan fauna).

Faktor Penyebab
Menurut  Setyawati & Djati (2008) secara umum terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu (1) tindakan atau perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts) dan (2) keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition). 
Menurut Mangkunegara (2002, p.170), bahwa indikator penyebab keselamatan kerja adalah:
Keadaan tempat lingkungan kerja, yang meliputi:
  1. Penyusunan dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya yang kurang diperhitungkan keamanannya.
  2. Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak
  3. Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya.

Pemakaian peralatan kerja, yang meliputi:
  1. Pengaman peralatan kerja yang sudah usang atau rusak.
  2. Penggunaan mesin, alat elektronik tanpa pengaman yang baik Pengaturan penerangan.

Sehingga dapat diartikan bahwa faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja adalah: 1) Manusia, 2) Peralatan Kerja, 3) Lingkungan

Dampak Insiden
Insiden dapat berakibat luka ringan hingga fatal timbulnya korban jiwa. Untuk mengelola resiko terjadinya insiden diperlukan analisis dampak terjadinya insiden tersebut. Dampak suatu insiden dalam lingkungan kerja antara lain:
  1. Korban Manusia: a) Meninggal dunia, b) Luka berat, c) Luka ringan
  2. Kerugian materi: a) Mesin, b) Bangunan, c) Bahan baku & bahan setengah jadi, d) Produk jadi
  3. Kerugian waktu kerja: Jumlah jam kerja yang hilang

Kerugian akibat terjadinya suatu insiden bervariasi sehingga perlu juga suatu kategori tingkatan dampak untuk mengetahui prioritas penanganan insiden. Kategori dampak terjadinya insiden dijabarkan sebagai berikut:
  1. Malapetaka, mengakibatkan kematian beberapa orang atau kerusakan total
  2. Berbahaya, mengakibatkan kematian, kerusakan berat atau proses berhenti total
  3. Berat, mengakibatkan cedera berat, cacat tetap, sakit parah, kerusakan peralatan atau penurunan kapasitas
  4. Sedang mengakibatkan cedera/sakit yang memerlukan perawatan medis di rumah sakit atau kerusakan/kerugian minimal.
  5. Ringan mengakibatkan cedera/sakit yang memerlukan perawatan medis dan tidak mengganggu proses.

Tujuan Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia.
Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Tenaga kesehatan yang perlu kita perhatikan yaitu semua tenaga kesehatan yang merupakan suatu institusi dengan jumlah petugas kesehatan dan non kesehatan yang cukup besar. Kegiatan tenaga atau petugas kesehatan mempunyai risiko berasal dari faktor fisik, kimia, ergonomi dan psikososial. Variasi, ukuran, tipe dan kelengkapan sarana dan prasarana menentukan kesehatan dan keselamatan kerja. Seiring dengan kemajuan IPTEK, khususnya kemajuan teknologi sarana dan prasarana, maka risiko yang dihadapi petugas tenaga kesehatan semakin meningkat.

Dasar Hukum Manajemen K3
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan K3 antara lain mulai dari UUD 1945, UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hingga peraturan pelaksanaannya.
  • UUD 1945 pasal 27 ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
  • UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur keselamatan dan kesehatan kerja pada Pasal 86 yaitu “pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan”
  • UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
  • UU Uap Tahun 1930 yang mengatur ijin menjalankan pesawat uap

Konsep Manajemen K3
Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya termasuk di dalamnya ialah identifikasi aspek dampak lingkungan operasional Perusahaan terhadap alam dan penduduk sekitar di wilayah Perusahaan menyangkut beberapa elemen seperti tanah, air, udara, sumber daya energi serta sumber daya alam lainnya termasuk aspek flora dan fauna di lingkungan Perusahaan.
Identifikasi Bahaya dilakukan terhadap seluruh aktivitas operasional Perusahaan di tempat kerja meliputi :
  1. Aktivitas kerja rutin maupun non-rutin di tempat kerja.
  2. Aktivitas semua pihak yang memasuki termpat kerja termasuk kontraktor, pemasok, pengunjung dan tamu.
  3. Budaya manusia, kemampuan manusia dan faktor manusia lainnya.
  4. Bahaya dari luar lingkungan tempat kerja yang dapat mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja tenaga kerja yang berada di tempat kerja.
  5. Infrastruktur, perlengkapan dan bahan (material) di tempat kerja baik yang disediakan Perusahaan maupun pihak lain yang berhubungan dengan Perusahaan.
  6. Perubahan atau usulan perubahan yang berkaitan dengan aktivitas maupun bahan/material yang digunakan.
  7. Perubahan Sistem Manajemen K3 termasuk perubahan yang bersifat sementara dan dampaknya terhadap operasi, proses dan aktivitas kerja.
  8. Penerapan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lain yang berlaku.
  9. Desain tempat kerja, proses, instalasi mesin/peralatan, prosedur operasional, struktur organisasi termasuk penerapannya terhadap kemampuan manusia.

Identifikasi Risiko
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap risiko yang akan dikelola. Identifikasi harus dilakukan terhadap semua risiko, baik yang berada di dalam ataupun di luar organisasi.
Identifikasi risiko haruslah mengenai pertimbangan berikut:
  • Apa yang dapat terjadi? Tujuannya adalah untuk menyusun daftar risiko secara komprehensif dari kejadian-kejadian yang dapat berdampak pada setiap elemen kegiatan. Pada dasarnya tahap ini memberikan eksplorasi gambaran permasalahan yang dihadapi. Tahap ini nantimya akan memberikan besaran konsekuensi yang dapat terjadi. Konsekuensi merupakan sebuah variabel penting untuk menentukan level risiko nantinya.
  • Bagaimana dan mengapa itu terjadi? Pada tahap ini dilakukan skenario proses kejadian yang akan menimbulkan risiko berdasarkan informasi gambaran hasil eksplorasi masalah di atas. Skenario menjadi penting untuk memberikan rangkaian “cerita”tentang proses terjadinya sebuah risiko, termasuk faktor-faktor yang dapat diduga menjadi penyebab ataupun mempengaruhi timbulnya risiko. Tahap ini akan memberikan rentang probabilitas yang ada. Probabilitas juga merupakan elemen yang penting untuk menentukan level risiko nantinya.

Pendekatan yang digunakan untuk identifikasi risiko diantaranya adalah checklist, penilaian berdasarkan pengalaman dan pencatatan, flow charts, brainstorming, analisis sistem, analisis skenario dan tekhnik sistem rekayasa.
Metode identifikasi merupakan tekhnik yang dikembangkan untuk mengenal dan mengevaluasi berbagai bahaya yang terdapat dalam proses kerja. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi potensi bahaya dalam kegiatan industri adalah sebagai berikut (Kolluru,1996).
  1. What if/check list. Dalam metode ini, setiap proses dipelajari melalui pendekatan brainstorming untuk memformulasikan setiap pertanyaan meliputi kejadian yang akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Masing-masing pertanyaan dibagi ke dalam tahapan operasi,tekhnik, pemeliharaan dan inspeksi. Setiap pertanyaan tersebut mempertimbangkan skenario terjadinya insiden, identikasi konsekuensi, penilaian kualitatif untuk menentukan tingkat keparahan konsekuensi, kemungkinan dari semua risiko yang ada dan pembuatan rekomendasi untuk mengurangi bahaya. Metode what if/ checklist dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya potensial dari setiap tahapan proses. Metode ini akan efektif apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman untuk evaluasi suatu proses.
  2. HAZOPS. Hazard and Operability Study (HAZOPS) digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dari operasional proses yang dapat mempengaruhi efisiensi produksi dan keselamatan. HAZOPS merupakan metode identifikasi risiko yang berfokus pada analisis terstruktur mengenai operasi yang berlangsung. Dengan menggunakan HAZOPS, kita harus mempelajari setiap tahapan proses untuk mengidentifikasi semua penyimpangan dari kondisi operasi yang normal, mendeskripsikan bagaimana bisa terjadi dan menentukan perbaikan dari penyimpangan yang ada.
  3. FMEA. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan metode identifikasi risiko dengan menganalisis berbagai pertimbangan kesalahan dari peralatan yang digunakan dan mengevaluasi dampak dari kesalahan tersebut. Kelemahan metode ini adalah tidak mempertimbangkan kesalahan manusia. Dalam hal ini, FMEA mengidentifikasi kemungkinan abnormal atau penyimpangan yang dapat terjadi pada komponen atau peralatan yang terlibat dalam proses produksi serta konsekuensi yang ditimbulkan.
  4. FTA. Fault Tree Analysis (FTA) merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk memprediksi atau sebagai alat investigasi setelah terjadinya kecelakaan dengan melakukan analisis proses kejadian. FTA nantinya akan menghasilkan penilaian kuantitatif dari probabilitas kejadian yang tidak diinginkan. FTA merupakan metode yang paling efektif dalam menemukan inti permasalahan karena dapat menentukan bahwa kerugian yang ditimbulkan tidak berasal dari satu kegagalan. FTA merupakan kerangka berpikir terbalik di mana evaluasi berawal dari insiden kemudian dikaji penyebabnya.
  5. ETA. Event Tree Analysis (ETA) adalah metode yang menunjukkan dampak yang mungkin terjadi dengan diawali oleh identifikasi pemicu kejadian dan proses dalam setiap tahapan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan. Dalam melakukan ETA, kita perlu mengetahui pemicu dari kejadian dan fungsi sistem keselamatan atau prosedur kegawatdaruratan yang tersedia untuk menentukan langkah perbaikan terhadap dampak yang ditimbulkan.
  6. JHA. Job Hazard Analysis (JHA) adalah tekhnik yang berfokus pada tahapan pekerjaan sebagai cara untuk mengidentifikasi bahaya sebelum suatu kejadian yang tidak diinginkan muncul. Metode ini lebih fokus pada interaksi antara pekerja, tugas/pekerjaan, alat dan lingkungan. Setelah diketahui bahaya yang tidak bisa dihilangkan, maka dilakukan usaha untuk menghilangkan atau mengurangi risiko bahaya ke tingkat level yang bisa diterima (OSHA 3071). 

JHA dapat diterapkan dalam berbagai macam jenis pekerjaan, namun terdapat beberapa prioritas pekerjaa yang perlu dilakukan JHA, antara lain:
  • Pekerjaan dengan tingkat kecelakaan/kesakitan yang tinggi
  • Pekerjaan yang berpotensi menyebabkan luka,cacat atau sakit meskipun tidak terdapat insiden sebelumnya
  • Pekerjaan yang bila terjadi sedikit kesalahan kecil akan dapat memicu terjadinya kecelakaan parah atau luka
  • Pekerjaan yang baru atau mengalami perubahan dalam proses dan prosedur
  • Pekerjaan cukup kompleks untuk ditulis instruksi pelaksanaannya

Analisis Resiko
Dalam AS/NZS 4360:2004, analisa risiko adalah suatu kegiatan sistematik dengan menggunakan informasi yang ada untuk mendeteksi seberapa besar konsekuensi (severity) dengan tingkat keseringan (likelihood) suatu kejadian yang timbul. Tujuan dilakukan analisis risiko adalah untuk memisahkan antara risiko kecil (minor risk) dengan risiko besar (major risk) yang kemudian dapat digunakan sebagai evaluasi dan pertimbangan perlakuan pengendalian. Tujuan dari analisis risiko adalah untuk membedakan risiko minor yang dapat diterima atau risiko mayor yang membutuhkan tindakan pengendalian.
Analisis risiko dapat dilakukan untuk berbagai tingkat rincian tergantung pada risiko,tujuan analisis, informasi, data dan sumber daya yang tersedia. Analisis risiko dapat berbentuk kualitatif, semi kuantitatif, kuantitatif ataupun kombinasi diantara ketiganya tergantung pada keadaan. Urutan kompleksitas dan biaya analisis mulai dari rendah hingga tinggi yakni kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif.
  • Analisis Kualitatif. Analisa kualitatif adalah analisa yang paling banyak digunakan. Analisa kualitatif merupakan analisa yang cepat dan relatif mudah untuk digunakan, jangkauan identifikasi konsekuensi (consequences) dan kemungkinan (likelihood) yang luas. Analisa ini juga mampu menyediakan pemahaman secara umum tentang perbandingan risiko di berbagai macam tingkat serta matriks risiko yang dapat digunakan untuk memisahkan kejadian risiko ke dalam tingkatan risiko kualitatif menggunakan deskriptif term untuk menjelaskan kemungkinan dan konsekuensi dari sebuah risiko. Hasil dari analisis risiko kualitatif ini dapat berupa risk matrix format. Contoh dari AS/NZS 4360 menjelaskan bahwa besaran dari semua konsekuensi diterjemahkan sebagai: insignificant- level 1, minor-level 2, moderat-level 3, mayor-level 4 dan catasthrophic-level 5. Dengan cara yang mirip, kemungkinan dapat dibatasi dengan kategori: almost certain-level A, likely-level B, possible-level C, unlikely-level D atau rare-level E. Analisis kualitatif memiliki keterbatasan jika dibandingkan dengan analisis risiko yang bersifat kuantitatif. Analisis risiko kualitatif kadang tidak tepat, sulit dibandingkan dengan kejadian umum, penilaian konsekuensi dan kemungkinan yang cenderung sangat subjektif membuat sulit untuk dikomunikasikan dengan stakeholders. Hasil dari analisis kualitatif juga sulit dijadikan pertimbangan dalam bisnis.
  • Analisis Semi Kuantitatif. Pendekatan semi kuantitatif untuk analisis risiko saat ini sedang dipakai secara luas untuk menjawab keterbatasan yang didapat dari analisis risiko secara kualitatif. Analisis semi kuantitatif memberikan sebuah gambaran risiko yang lebih detail dalam prioritas risiko dibandingan dengan anaisis secara kualitatif. Analisis ini memungkingkan untuk melibatkan perkalian dari tingkat frekuensi dengan besaran numerik dari konsekuensi sehingga memungkinkan untuk melakukan beberapa kombinasi. Dalam matriks analisis risiko semi kuantitatif, kemungkinan (likelihood) dan konsekuensi (consequences) telah dberikan tingkatan jumlah yang dapat dikali (multiplied) untuk mendapatkan tingkat risiko secara numerik. Dalam gambar di bawah ini, risiko yang ekstrim mendapatkan nilai lebih besar dari 15, risiko tinggi mendapatkan nilai 10-15 dan seterusnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah sebuah tingkat risiko dapat diketahui sesuai dengan nilai numerik risikonya. Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan yang sangat besar yaitu nilai numerik risiko dapat saja tidak mencerminkan risiko tingkat kejadian yang sesungguhnya karena adanya kemungkinan perbedaan susunan dari besarnya kemungkinan dan konsekuensi. Dalam banyak kasus, analisis semi kuantitatif telah dikembangkan untuk mengatasi kelemahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Analisis semi kuantitatif tersebut menggunakan nilai kemungkinan dan konsekuensi yang lebih dekat dan mencerminkan besaran relatif risiko tetapi tetap bukan merupakan nilai yang absolut sesuai dengan risiko yang sebenarnya. Penilaian risiko semi kuantitatif merupakan metode yang cepat,mudah untuk digunakan, jelas dalam identifikasi kemungkinan dan konsekuensi, dapat dibandingkan dengan risiko kejadian lain dan berguna untuk penilaian risiko secara komprehensif. Jika dibandingkan dengan analisis kuantitatif, analisis semi kuantitatif lebih stabil dalam tingkat konsekuensi karena kebanyakan analisis kuantitatif menggunakan besaran mata uang. Hal ini tidak dapat digunakan untuk menilai risiko dalam lingkup dampak terhadap lingkungan (environment impact statement).
  • Analisis Kuantitatif. Pada analisis kuantitatif, risiko-risiko akan diukur secara spesifik. Analisis ini menggunakan nilai numerik dari pengukuran yang mendalam bukan data deskriptif skala yang digunakan seperti dalam analisis kualitatif dan semi kuantitatif. Kualitas analisis kuantitatif sangat tergatung pada ketepatan dan kelengkapan nilai numerik dan validitas model yang digunakan. Dalam analisis kuantitatif, nilai dari kemungkinan (likelihood) dibuat dari frekuensi kejadian seperti frekuensi tahunan atau frekuensi selama periode spesifik. Kemungkinan juga dapat dilihat dari probabilitas dari terwujudnya risiko seperti 1:17 dalam setiap kejadian. Sedangkan, konsekuensi didapatkan dari pengukuran sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Contohnya, penilaian dari risiko tekhnik sebuah bendungan sering diukur dari kemungkinan nyawa yang hilang atau bisa diukur dari sisi biaya yang dikeluarkan.

Peta Resiko
Pemetaan bahaya merupakan proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran bahaya di tempat kerja dengan cara dan metode tertentu sehingga didapatkan hasil berupa gambar yang menjelaskan lokasi tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin didapatkan (Aji, 3013). Beberapa langkah dalam pembuatan risk mapping yaitu :
  • Identifikasi tempat kerja yang akan dilakukan pemetaan bahaya
  • Melakukan penilaian risiko berdasarkan potensi bahaya yang ada di tempat kerja dengan pendekatan Manajemen Risiko AS/NZS 4360
  • Dari hasil identifikasi dan penilaian risiko tersebut akan dibuat grid dan memasukkan data penilaian ke program pembuatan risk mapping.

Berdasarkan bentuknya, peta dapat dibedakan atas:
  • Peta datar, yaitu peta yang digambarkan pada bidang datar, misal pada kertas, kanvas atau tripleks. Perbedaan bentuk permukaan bumi pada bidang datar dinyatakan dengan perbedaan warna dan symbol-simbol yang digunakan.
  • Peta timbul, yaitu peta yang dibuat sesuai dengan bentuk permukaan bumi sebenarnya atau ruang yang sebenarnya.
  • Peta digital, yaitu peta yang dibuat dengan bantuan komputer yang disimpan pada pita atau disket dan dapat digunakan oleh pengguna melalui layar monitor.

Peta memiliki manfaat yang bermacam-macam sesuai dengan jenis peta yang digunakan. Secara umum manfaat peta adalah:
  • Menunjukkan lokasi suatu tempat tertentu di permukaan bumi maupun di permukaan suatu ruang.
  • Menggambarkan luas dan bentuk berbagai fenomena geografi.
  • Untuk mengetahui kenampakan muka bumi baik yang bersifat fisik (sungai, gunung, persebaran vegetasi) maupun sosial budaya (persebaran sawah, persebaran pemukiman, persebaran industri).
  • Sebagai alat untuk memasukkan data yang ditemukan di lapangan.
  • Alat peraga dan alat pelaporan hasil penelitian. Begitu pula dengan peta risiko yang dibuat untuk mengetahui keadaan risiko yang terjadi di suatu tempat. Peta risiko digunakan alat pelaporan dari hasil penelitian mengenai identifikasi bahaya atau risiko yang terjadi di suatu tempat.

Penilaian Resiko
Penilaian resiko menggunakan pendekatan metode matriks resiko yang relatif sederhana serta mudah digunakan, diterapkan dan menyajikan representasi visual di dalamnya.
Pengertian (definisi) resiko K3 (risk) ialah potensi kerugian yang bisa diakibatkan apabila berkontak dengan suatu bahaya ataupun terhadap kegagalan suatu fungsi.
Matriks Penilaian Resiko K3
Penilaian Resiko merupakan hasil kali antara nilai frekuensi dengan nilai keparahan suatu resiko. Untuk menentukan kagori suatu resiko apakah itu rendah, sedang, tinggi ataupun ekstrim dapat menggunakan metode matriks resiko seperti pada tabel matriks resiko di bawah :


Tabel di bawah merupakan contoh parameter keseringan dari tabel matriks resiko di atas :



Tabel di bawah merupakan contoh parameter keparahan dari tabel matriks resiko :



Tabel di bawah merupakan representasi kategori resiko yang dihasilkan dari penilaian matriks resiko :








Dari representasi di atas, maka dapat kita tentukan langkah pengendalian resiko yang paling tepat berdasarkan 5 (lima) hirarki pengendalian resiko/bahaya K3

Pengendalian Resiko
5 Hierarki Pengendalian Resiko/Bahaya K3
Resiko/bahaya yang sudah diidentifikasi dan dilakukan penilaian memerlukan langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat resiko/bahaya-nya menuju ke titik yang aman.
Pengendalian Resiko/Bahaya dengan cara eliminasi memiliki tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi tertinggi di antara pengendalian lainnya. Dan pada urutan hierarki setelahnya, tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi menurun seperti diilustrasikan pada gambar di bawah :















Hierarki Pengendalian Resiko
Pengendalian resiko merupakan suatu hierarki (dilakukan berurutan sampai dengan tingkat resiko/bahaya berkurang menuju titik yang aman). Hierarki pengendalian tersebut antara lain ialah eliminasi, substitusi, perancangan, administrasi dan alat pelindung diri (APD) yang terdapat pada tabel di bawah :
Hierarki Pengendalian Resiko K3
Eliminasi Eliminasi Sumber Bahaya Tempat Kerja/Pekerjaan Aman Mengurangi Bahaya



Pengendalian Melalui Perundang-undangan (Legislative Control) antara lain :
  • UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Petugas kesehatan dan non kesehatan
  • UU No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
  • UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
  • Peraturan Menteri Kesehatan tentang higene dan sanitasi lingkungan.
  • Peraturan penggunaan bahan-bahan berbahayaPeraturan/persyaratan pembuangan limbah dll.

Pengendalian melalui Administrasi / Organisasi (Administrative control) antara lain :
  • Persyaratan penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat kesehatan
  • Pengaturan jam kerja, lembur dan shift
  • Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya
  • Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures) terutama untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan (boiler, alat-alat radiology, dll) dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan
  • Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan pencegahannya.

Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control) antara lain :
  • Substitusi dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja
  • Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan non kesehatan (penggunaan alat pelindung)
  • Perbaikan sistim ventilasi, dan lain-lain


Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control) Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:
  1. Pemeriksaan Awal adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang calon / pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Pemeriksaan kesehatan awal ini meliputi: 1) Anamnese umum, 2) Anamnese pekerjaan, 3) Penyakit yang pernah diderita, 4) Alrergi, 5) Imunisasi yang pernah didapat, 6) Pemeriksaan badan, 7) Pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan tertentu: 1) Tuberkulin test, 2) Psikotest
  2. Pemeriksaan Berkala adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
  3. Pemeriksaan Khusus yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern di Tempat Kerja Kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.

Kesehatan dan keselamatan kerja di Tempat Kerja Kesehatan bertujuan agar petugas, masyarakat dan lingkungan tenaga kesehatan saat bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggung-jawab terhadap kesehatan masyarakat, memfasilitasi pembentukan berbagai peraturan, petunjuk teknis dan pedoman K3 di tempat kerja kesehatan serta menjalin kerjasama lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaan K3 tersebut.
Keterlibatan dan komitmen yang tinggi dari pihak manajemen atau pengelola tempat kerja kesehatan mempunyai peran sentral dalam pelaksanaan program ini. Demikian pula dengan pihak petugas kesehatan dan non kesehatan yang menjadi sasaran program K3 ini harus berpartisipasi secara aktif, bukan hanya sebagai obyek tetapi juga berperan sebagai subyek dari upaya mulia ini.

Kesimpulan
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.
Tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
  1. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
  2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
  3. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
  4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
  5. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
  6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
  7. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja. Petugas atau tenaga kesehatan merupakan orang pertama yang terpapar terhadap masalah kesehatan yang merupakan kendala yang dihadapi untuk setiap tahunnya. Selain itu dalam pekerjaannya menggunakan alat–alat kesehatan, berionisasi dan radiasi serta alat-alat elektronik dengan voltase yang mematikan, dan melakukan percobaan dengan penyakit yang dimasukan ke jaringan hewan percobaan. Oleh karena itu penerapan budaya “aman dan sehat dalam bekerja” hendaknya dilaksanakan pada semua Institusi.


Daftar Pustaka
  • Setyawati, L. M. 2007.  Promosi Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Pelatihan Para Medis Seluruh Jawa Tengah. RSU Soeradji Klaten
  • Markkanen, Pia K. 2004.  Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Philippines : International Labour Organization (ILO)
  • Suma’mur P. K. 1993. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Haji Masagung. Jakarta


1 comment:

  1. Selamat pagi pak Alex Fuad. Mohon maaf mengganggu. Perkenalkan saya Chintya. Saya ingin bertanya untuk matriks risiko yg tertera di halaman ini bersumber darimana ya Pak? Sebagai salah satu acuan untuk tugas saya. Terimakasih.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.